ACEHAKTUAL.COM | Banda Aceh : Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Ar Raniry, Prof Dr Alyasa’ Abubakar, MA, mengatakan Pergub Nomor 5 Tahun 2018 tidak melanggar syariat.
Alyasa, beralasan karena secara fiqih, penjatuhan hukuman itu harus ada yang mengetahui dan menyaksikan.
“Berapa orang yang menyaksikan dan sebagainya, itu tidak dibatasi. Jadi, perintah bahwa hukuman itu disaksikan oleh orang-orang, itu diterjemahkan ke dalam qanun menjadi ‘terbuka’,” terangnya sebagaimana realise Humas Pemerintah Aceh, Jumat, (20/4/2018.)
Meskipun dalam terjemahannya bersifat terbuka, tetapi anak-anak tetap tidak diperbolehkan untuk melihat pelaksanaan hukum acara jinayat tersebut. Hal ini sesuai dengan isi pasal 262 ayat 2, Qanun No. 7 Tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat.
“Masalahnya, dalam pelaksanaan uqubat cambuk selama ini terjadi pelanggaran qanun tersebut, yakni anak-anak ikut menonton prosesinya,” kata Alyasa’.
Penilaian kedua, kata Alyasa’, di dalam fiqih tujuan memberikan hukuman adalah untuk mengampuni dosa. Hukuman yang diberikan juga bukan untuk memojokkan orang-orang yang dihukum.
“Dia kembali seperti orang biasa, karena sudah menebus kesalahannya. Tetapi, dalam praktik sekarang, ‘kan tidak demikian, selalu distigma negatif dan diejek,” tandas mantan Kadis Syariat Islam Aceh ini.
Selain itu, ada juga kecenderungan mendokumentasikan pelaksanaan hukuman acara jinayat tersebut ke dalam bentuk video dan menyebarkannya ke media sosial.
Pertimbangan-pertimbangan seperti ini, kata Alaysa’, yang membuat Gubernur Aceh berinisiatif untuk mengubah lokasi pelaksanaan hukuman cambuk. Tujuannya agar anak-anak tidak berpeluang menonton lagi. Akhirnya penjara menjadi pilihan karena tempat tersebut dinilai paling aman dan jauh dari jangkauan anak-anak.
Alyasa’ menyarankan tempat alternatif pelaksanaan hukuman acara jinayat jika memang sebagian kalangan kurang sepakat. Tempat yang dimaksud adalah sebuah bangunan khusus yang dibuat untuk pelaksanaan hukuman cambuk agar tidak lagi terjadi pelanggaran terhadap isi qanun.