Oleh : Juanda Djamal
Anggota DPRK Aceh Besar terpilih 2019-2024
Melewati bundaran Lambaro kearah kota Jantho, terpampang sebuah baliho yang menginformasikan capaian persentase pembangunan Aceh Besar, baliho tersebut dilengkapi juga foto bupati dan wakil bupati. Seakan pasangan ini berbicara, “lihatlah hasil kerja kami, kami sudah menunjukkan perubahan”. Baliho tersebut menginformasikan persentase pertumbuhan ekonomi naik dari 4,01 % menjadi 4,08%, kemiskinan turun dari 4,86 % menjadi 14,47 %, begitu juga pengangguran, inflasi, PDRB dan sebagainya. Tentunya, kita bangga dengan keberhasilan pasangan ini, kerja keras mereka telah membuahkan hasil dan mengharapkan pasangan kepala pemerintahan ini bisa saling bersinergi, kompak dan terus berkarya sampai akhir masa kepemimpinan mereka.
Akan tetapi, seminggu setelah terpasang baliho capaian pembangunan tersebut, bak suara dentuman meletusnya gunung Seulawah, wakil bupati meradang dengan suara lantang dan lugas dalam rapat paripurna pembahasan APBK-P 2019 Kabupaten Aceh Besar, di gedung DPRK, Jantho, 19 juli 2019. Ungkapan hati yang lama dipendamnya keluar di depan unsur muspida, camat, skpd dan para tokoh.
“Hari ini saya tidak dilibatkan apapun, harusnya wakil bupati itu ban gandeng, bukan ban serap. Kalau saya dianggap ban serap, maka tunggulah kehancurannya”, tegas Waled sebagaimana penulis kutip sebuah media
Pernyataan wakil bupati tersebut seakan memupuskan harapan banyak pihak, wajah sumringah yang terpampang pada baliho dibundaran Lambaro seakan berubah, satu sama lainnya seakan menunjukkan wajah yang tidak serasi dan penuh ketidak percayaan.
Sampai hari, Pertanyaan besar masih terpendam dalam hati publik, mengapa Waled mengelurkan pernyataan tersebut dalam rapat paripurna DPRK yang membahas mengenai APBK-P 2019. Seyogianya membaca teks pembahasan berkenaan dengan APBK-P Aceh Besar, sebaliknya menyampaikan kepentingan personalnya.
Publik beranggapan tidak sepatutnya forum itu dipergunakan sebagai tempat menyampaikan curhat wakil bupati. Semestinya ada anggota legislatif menginterupsi sidang dan mengarahkan kembali sidang pada pembahasan APBK-P. Pembahasan APBK-P jauh lebih penting daripada curhatnya wakil bupati. Karena APBK-P yang mencapai 1,9 triliun merupakan nominal fantastis yang harus dijawab oleh eksekutif didepan para anggota dewan terhormat.
Namun demikian, dibalik itu semua, Waled telah memanfaatkan momentum paripurna bukan hanya sebatas menyampaikan kepentingan personalnya semata. Melainkan juga, Waled membuka tabir politik pembangunan Aceh Besar dalam dua tahun terakhir, terutama hubungannya dengan bupati. Kondisi politik demikian, merupakan kondisi serius yang mengancam pembangunan di masa depan. Kendatipun, pak Bupati dan pengikutnya berupaya terus menutupi keadaan tersebut. Namun, publik telah dapat memahami dan merasakan aroma tak sedap dalam hubungan bupati-wakil bupati Aceh Besar.
Menariknya, Waled pun meminta legislatif supaya dapat berperan untuk mengkritik eksekutif. Tentunya, permintaan ini sangat beralasan, banyak pihak menilai dalam dua tahun terakhir peran dan fungsi legislatif masih kurang menjadi penyeimbang (balancing), baik dalam legislasi, penganggaran dan pengawasan. Termasuk juga, peran extra parlemen, beberapa organisasi pemuda dan mahasiswa yang ada di Aceh Besar telah menjadi bagian dari grup “paduan suara”, sehingga dinamika politik pembangunan menyebabkan lemahnya partisipasi publik pada semua sektor pembangunan di Aceh Besar.
Hal yang kita sayangkan, perseteruan mereka telah berdampak ke lembaga-lembaga penyelenggaraan pemerintah (eksekutif). Untuk mengetahui situasi lebih jauh, penulis mencoba mewawancarai beberapa narasumber di kelembagaan pemerintahan, menurut mereka, selama ini ada ketidaknyamanan dikalangan kedinasan, seolah-olah ada gap “orang bupati dan orang wabup”, dinamika ini sudah menjadi rahasia umum. Tentunya, Keadaan tersebut adalah lampu kuning bagi pembangunan, salah satu contoh buruk, RKA APBK 2019 yang dibahas diakhir tahun 2018 merupakan copy paste dari sebelumnya, padahal nilai anggaran yang disahkan mencapai Rp 2,1 triliun. Keadaan demikian menjadi salah satu indikasi perencanaan pembangunan di era kepemimpinan Mawardi-Waled lemah. Sehingga berdampak pada realisasi APBK 2019 rendah serapannya. Selanjutnya, eksekutif dan legislative menyepakati untuk segera membahas APBK-P 2019, nilainya mencapai Rp 1,9 triliun. Jumlah sebesar itu dalam anggaran perubahan memberikan indikasi lemahnya tata kelola pemerintahan terutama dalam perencanaan, pengelolaan program dan keuangan.
Untuk itu, kita bisa bayangkan, jika hubungan bupati/wabup sudah saling tidak percaya maka dampak buruk bagi politik pembangunan dan pengelolaan pemerintahan di Aceh Besar. Situasi demikian merupakan kerugian besar bagi masyarakat Aceh Besar, karena APBK-P 2019 sebesar Rp 1,9 triliun akan mengalir pada tempat-tempat yang tidak tepat sasaran.
Meskipun, Mawardi Ali mengklarifikasi bahwa hubungan keduanya baik-baik saja dan itu hanya dinamika biasa, namun Waled selalu saja menyampaikan hal sebaliknya. Jadi, publik berharap, baik Mawardi maupun Waled Husaini supaya tidak mengedepankan egonya masing-masing, sebaiknya duduk lagi bersama, evaluasikan segala kelemahan yang ada dan perbaikilah hubungan keduanya, demi masyarakat Aceh Besar.
Disisi lain, Para pendukung kedua pihak harus meredusir ungkapan-ungkapan yang dapat merusak hubungan keduanya, meskipun UU 23 tahun 2014 telah mengatur tugas, fungsi dan kewenangan kepala daerah, tetapi kembalilah pada kesepakatan awal yang pernah pasangan ini bangun. Langkah ini penting supaya perilaku politik keduanya dapat saling respek dan terbuka, serta jauh dari ketidakpercayaan.
Keduanya dapat membangun kesepahaman bahwa matahari di Aceh Besar tetap satu, jangan ada upaya untuk menciptakan dua matahari, karena jika ini terjadi maka kegelapan terus menyelimuti bumi “Aceh Lhee Sagoe” sampai tiga tahun kedepan. Kita sangat khawatirkan, jika terjadi dua matahari, maka cahaya “peradaban” meredup dan gelap, dan sangat tidak mungkin bumi “Aceh Lhee Sagoe” hanya mampu diterangi oleh bintang-bintang.
Masa Depan Aceh Besar
Masa depan Aceh Besar sangat tergantung pada masyarakat Aceh Besar, karena masyarakatlah pemegang kekuasaan politik itu. Sedangkan Bupati-wakil bupati adalah pihak yang mendapatkan mandat kekuasaan selama lima tahun. Jadi, partisipasi masyarakat dibutuhkan guna mengawasi dan mengkritisi para penyelenggara pemerintahan. Jika pemegang mandat tidak menjalan amanahnya, bahkan mereka berkelahi, maka masyarakat wajib mengingatkannya dan menuntun kembali pada jalur benar.
Namun demikian, kondisi kekinian pemimpin Aceh Besar, relasi keduanya semakin memburuk, bahkan berdasarkan sumber yang dapat dipercaya menjelaskan “salah satu tokoh masyarakat Aceh Besar sudah memediasi dua kali guna “mendamaikan” keduanya, namun keadaanya berulang lagi. Untuk itu, langkah ketiga patut dipikirkan, semua pihak harus berupaya untuk membangun momentum “mendamaikan” guna menghindari “talak tiga” atas relasi politik mereka. Langkah ini menjadi prioritas yang mesti dilakukan jika kita ingin melangkah ke masa depan Aceh Besar yang lebih baik.
Selanjutnya, sepatutnya pimpinan partai politik, organisasi pemuda dan mahasiswa, dan seluruh tokoh masyarakat Aceh Besar perlu menciptakan sebuah musyawarah inklusif (inclusive dialogue) untuk membangun arah dan agenda strategis masa depan Aceh Besar. Kita mesti membangun peluang atas berbagai potensi sumber daya yang kita miliki terutama aspek ekonomi, bisnis dan investasi. Apalagi, pasar Lambaro menjadi salah satu hot spot ekonomi Aceh saat ini, seharusnya kita dapat mempersiapkan berbagai fasilitas lainnya guna menjadikan lambaro sebagai hot spot ekonomi utama bagi Aceh di masa depan.
Tentunya, kita diuntungkan oleh luasnya wilayah yang terbentang dari pegunungan Seulawah sampai ke kaki pegunungan Geurutee. Luasnya lahan terbuka yang masih tersedia, semestinya dapat menjadi peluang “bukan kendala” untuk diarahkan pada produktifitas pertanian, kita dapat menciptakan sentra-sentra pertanian yang disesuaikan dengan kebutuhan pasar “jarou bak langai mata u pasai”. Selain pengembangan komoditi pertanian, lahan yang masih luas juga dapat kita manfaatkan bagi pengembangan perternakan. Juga, potensi kelautan dan kepulauan, kita memiliki garis pantai yang panjang, laut yang luas mengandung potensi perikanan laut yang kaya pula. Tentunya, pemerintah harus dapat membangun agenda strategis dan fundamental dalam memanfaatkan semua potensi di sector ril tersebut.
Selain sektor ril, kita juga memiliki potensi sumber daya mineral lainnya seperti potensi pertambangan, tentunya pemerintah dapat memfasilitasi pihak swasta untuk mengembangkan berbagai tempat pengolahan tambang yang sesuai dengan UU dan perlindungan lingkungan. Potensi lainnya yang tidak kalah profitable adalah pariwisata. Kita memiliki potensi wisata bahari yang paling menarik, sejauh ini promosi wisata kita masih lemah, kecuali beberapa tempat yang dikembangkan oleh swasta, saat ini sudah menjadi kunjungan utama masyarakat Aceh seperti wahana Kuta Malaka dan Taman rusa.
Selanjutnya, Aceh Besar memiliki potensi sumber daya manusia yang masih kurang dimanfaatkan. Penulis melihat, tahun pertama kepemimpinan mawardi-Waled upaya memobilisasi SDM dari kampus sudah ada, akan tetapi upaya ini tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan, malah terkesan eksklusif.
Maka, gerakan inklusif ini perlu dibangun supaya sekat sosial-politik yang tumbuh dalam masyarakat maupun dalam tubuh institusi birokrasi dapat dijadikan modal sosial bagi pembangunan Aceh Besar. Mentalitas baru kita bangun, yaitu mentalitas saudagar, baik masyarakat maupun birokrat harus menjadikan semua potensi yang ada pada diri mereka sebagai modal untuk menguatkan pembangunan ekonomi Aceh Besar kedepan. Terutama PNS, semangat entrepreneur harus kuat dalam diri mereka, bahwa gaji setiap bulannya yang dibayarkan ke mereka adalah investasi pemerintah untuk memberikan layanan publik dan menjalan program yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pembangunan manusia dan lainnya. Semangat inilah yang harus terus dipupuk supaya semua potensi dapat kita kelola “modal” dalam membangun masa depan.
Aceh Besar juga diuntungkan oleh wilayah yang berbatasan langsung dengan ibukota propinsi, padatnya populasi kota Banda Aceh telah menjadikan wilayah Aceh Besar sebagai tempat tinggal baru bagi banyak pendatang. Jadi, percampuran masyarakat anshar dan muhajirin akan membawa multiefek yang panjang dan luas. Sebagai masyarakat tempatan, kita mesti mempersiapkan diri secara mentalitas dan kapasitas untuk terus berkompetisi secara sehat. Insya Allah, semakin majemuknya warga Aceh Besar, maka menciptakan suasana sosial yang multikultur dan penuh keberagaman. Insya Allah, Aceh Besar kembali menciptakan masyarakat yang berperadaban tinggi sebagaimana kejayaan dan kosmopolitnya negeri “Aceh Lhee Sagoe”.