ACEHAKTUAL.COM I Jakarta – Mbah Moen, yang bernama lengkap Maimoen Zubair wafat di Mekah hari ini Selasa, 6 Agustus 2019. Pimpinan Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang, Rembang itu meninggal di usia 91 tahun.
Di usia yang tak lagi muda, pesona dan kharisma Mbah Moen seolah tak pernah sirna. Selama hajatan Pemilihan Umum 2019 kemarin, restunya seperti diperebutkan. Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto, dua calon presiden yang berlaga di Pilpres 2019 pun sowan ke Mbah Moen.
Belum lagi politikus baik nasional mau pun lokal, pejabat daerah hingga masyarakat yang meminta nasihat dan didoakan. Dan Mbah Moen tak pernah membeda-bedakan tetamu yang datang. Semua diterima di ruang yang sama, juga dipenuhi apa yang mereka inginkan.
Pada Senin 4 Maret 2019, detikcom diberikan kesempatan untuk melakukan wawancara khusus dengan Mbah Moen. Berangkat dari Jakarta, kami tiba di kompleks Pondok Pesantren Al-Anwar persis ketika para santri usai menunaikan Salat Ashar berjemaah.
Mbah Moen masih menerima tamu. Mereka adalah rombongan warga dari salah satu daerah di Jawa Timur. Ada 11 orang tamu yang datang. Satu di antaranya adalah mantan santri Mbah Moen yang anaknya sekarang juga mondok di Pesantren Al-Anwar.
Tetamu mbah Moen, baik pejabat, politikus maupun masyarakat sekitar diterima di sebuah ruangan sederhana berukuran kurang lebih 4 x 5 meter. Tak ada perabotan mewah di ruangan tersebut. Hanya ada kursi-kursi bangku yang melingkari ruangan.
Di bagian pojok ruangan, terdapat sebuah dipan yang diberi kasur dan beberapa bantal. Di tempat inilah biasanya Mbah Moen duduk dan menerima tamunya. Ada beberapa foto Mbah Moen saat muda tergantung di dinding belakang dipan tersebut, juga sebuah logo burung garuda.
Sudah tak terhitung berapa pejabat yang menawarkan diri untuk merenovasi ruang tamu Mbah Moen. Bahkan ada yang berniat membangunkan rumah. Namun semuanya ditolak.
JIka ada yang ingin membantu, Mbah Moen sarankan mereka menyumbang untuk keperluan Pondok Pesantren Al Anwar. “Mbah Kiai lebih memikirkan para santrinya,” kata Hj Heni Maryam, istri Mbah Moen.
Selain para santri, Mbah Moen sangat peduli dengan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Ulama kharismatik yang juga Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama konsisten berjuang untuk tegaknya NKRI.
Salah satunya dengan menyerukan agar umat Islam mengamalkan Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI dan UUD 1945, 4 pilar kebangsaan yang oleh Mbah Moen disingkat dengan PBNU.
“Tahu 4 pilar? maka toh yang memiiki 4 pilar hanya NU. PBNU, Pancasila Bhineka Tunggal Ika, NKRI dan UU 45. Kalau NU sudah nasional pasti Indonesia makmur,” kata Mbah Moen kepada Tim Blak blakan detikcom.
Kepada para pemuda, Mbah Moen berpesan agar menjadi generasi penerus yang baik dan tidak terpecah belah. JIka pun terjadi perbedaan, baik pilihan politik maupun pendapat, itu hal yang bisa dan lumrah. Sehingga setiap masing-masing warga harus bisa mengelola dan mengendalikan perbedaan tersebut.
“Filsafat bangsa Indonesia bedo tapi podo, podo tapi bedo (berbeda tetapi sama, sama tapi beda). Bhineka Tunggal Ika, artinya damai, artinya jangan timbul permusuhan,” nasihat Mbah Moen.
Meski tak lagi muda, semangat Mbah Moen jika membahas soal persatuan bangsa sangat membara. Hingga tak terasa azan Maghrib berkumandang.
Mbah Moen mempersilakan kami menikmati teh dan kopi yang dihidangkan.
“Kulo Salat rimuyen (saya salat dulu),” kata Mbah Moen sambil digandeng salah satu santri menuju Masjid yang berada persis di depan ruang tamu dipisahkan jalan selebar 3 meter.
Usia sepuh tak menghalangi Mbah Moen untuk salat berjemaah. Bahkan di hari-hari terakhirnya saat menunaikan ibadah haji. Selama sembilan hari di kota suci, Mbah Moen tak ingin ketinggalan salat berjemaah di Masjidil Haram.
“Kegiatan hariannya salat berjemaah ke Masjidil Haram,” kata Gus Hayattullah Maki, santri Mbah Moen yang menemani selama di Mekah. (detik)