Arah Politik PA di DPRK Aceh Besar

Opini : Juanda Djamal (Ketua Fraksi Partai Aceh-Aceh Besar Masa Jabatan 2019-2024)

Ketua Fraksi Partai Aceh, Aceh Besar. Foto : Istimewa

ACEHAKTUAL.COM I Wajah baru, muda, kreatif, inovatif dan memiliki komitmen yang tinggi dalam memperjuangkan kebijakan pro-kesejahteraan masyarakat. Harapan itu disematkan pada pundak 35 anggota DPRK Aceh Besar masa jabatan 2019-2024, dilantik pada 20 Agustus 2019 di Jantho oleh Ketua Pengadilan Tinggi Negeri. Berdasarkan informasi dari sekretariat dewan Aceh Besar, periode ini ada 21 anggota leguslatif wajah baru dan 14 wajah lama. Tinjauan usia pun rata-rata berusia 30-40 tahun, usia tersebut adalah usia pemimpin, seperti nabi Muhammad SAW diangkat menjadi rasul pada usia 40 tahun. Banyak pihak berharap, sifat-sifat kepemimpinan Rasulullah Muhammad SAW yaitu Siddiq (jujur), Amanah (dapat dipercaya), Tabligh (menyampaikan) dan Fathanah (cerdas) juga terpatri dalam sanubari, mental dan perilaku ke-35 dewan di masa depan.

Sebagai anggota DPRK yang baru saja dilantik, tentunya memiliki semangat yang tinggi untuk perubahan, pemikiran strategis dan idealisme masih melekat dalam semangat keseharian mereka. Maka, sesaat usai prosesi pelantikan, pimpinan dewan sementara langsung mengundang perwakilan partai politik untuk menyusun agenda awal, yaitu pembuatan agenda pembahasan tata tertib dan melengkapi alat kelengkapan dewan (AKD). Tanpa adanya Tata tertib (tatib), institusi kedewanan tidak bisa bergerak untuk menjalankan fungsinya dalam legislasi, anggaran dan pengawasan. Ketiga tugas pokok tersebut dijalankan guna mengikuti sistem  penyelenggaraan pemerintahan presidensil ini, dan legislatif tentunya tidak memiliki kekuasaan mutlak, legislatif berbagi kekuasaan dengan eksekutif dan yudikatif. Sistem pembagian kekuasaan pemerintahan ini dikenal dengan sistem trias politika.

Trias Politika pertama kali dikemukakan oleh Montesquieu, seorang pemikir politik asal Prancis. Saat ini, penerapan Trias Politika dilakukan di banyak negara, termasuk Indonesia. Montesquieu mengemukakan teori Trias Politika yang membagi kekuasaan pemerintahaan menjadi tiga jenis; meliputi kekuasaan eksekutif (pelaksana undang-undang), kekuasaan legislatif (pembuat undang-undang), dan kekuasaan yudikatif atau kekuasaan kehakiman (pengawas pelaksanaan undang-undang).

Tentunya, 35 dewan Aceh Besar yang berasal dari sebelas partai politik memiliki kepentingan yang beragam, karena setiap parpol memiliki platform politik, ekonomi, dan budaya yang berbeda pula. Atas situasi demikian, ada dua tantangan yang harus dihadapi mereka; pertama,  kemampuan menumbuhkan harapan dan cita-cita politik untuk lima tahun jabatan, dan kedua,  kesadaran dan kemampuan komunikasi politik antar 35 anggota legislatif tersebut agar dapat mengarahkan harapan dan cita-cita politiknya dalam pandangan yang sama “stand of views” , sehingga secara institusi kedewanan mampu menciptakan sebuah kerangka gagasan strategis. Yang mana, gagasan tersebut dapat diturunkannya dalam bentuk rancangan/perencanaan strategis pembangunan yang memiliki dampak secara mendasar pada pertumbuhan ekonomi, peningkatan pendapatan daerah dan kesejahteraan masyarakat.

Untuk itu, pergerakan legislatif diharapkan bukan hanya sebatas kekuatan penyeimbang (check and balance) melainkan juga memastikan anggaran pembangunan dialokasikan guna mencapai target-target program pembangunan sesuai dengan Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) maupun Rancangan Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD).

Terbentuknya Fraksi-fraksi

DPRK Aceh Besar telah menetapkan Fraksi-fraksi dalam paripurna pertama, 27 Agustus 2019 di Jantho. Tentunya, langkah cepat pembentukan fraksi menjadi success story pergerakan politik parlemen Aceh Besar. Harapannya, setelah terbentuk fraksi maka dapat sesegera mungkin menyelesaikan Tata tertib DPRK Aceh Besar masa jabatan 2019-2024 dan selanjutnya diteruskan dengan penetapan pimpinan definitif, serta penetapan Alat Kelengkapan Dewan (AKD). Berdasarkan keputusan paripurna, kelima fraksi tersebut terdiri dari tiga fraksi utuh dan dua fraksi gabungan, Partai Amanat Nasional (PAN) terdiri dari 12 orang karena ikut bergabung tiga perwakilan partai lainnya yakni Partai Gerindra, Nasdem dan Partai Bulan Bintang. Kemudian Fraksi Partai Aceh terdiri dari lima anggota dan Partai Keadilan Sejahtera juga lima orang. Selanjutnya Fraksi PDA-PNA memiliki enam anggota, dan Fraksi partai Golkar-Demokrat sejumlah tujuh anggota.

Menariknya bagi fraksi PA, komposisi Fraksi Partai Aceh masa jabatan 2019-2024 berdiri sendiri karena memiliki cukup kursi yaitu lima kursi. Komposisi tersebut, tentunya berubah sebagaimana periode sebelumnya, yaitu beralihnya Partai Gerindra menjadi bagian dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN). Tentunya Gerindra Aceh Besar memiliki pertimbangan politiknya sendiri, baik secara taktis maupun strategis. Bagi PA, larinya Gerindra tetap kita hormati dan hargai karena tindakan tersebut adalah langkah politik mereka untuk mendapatkan nilai lebih atas political bargaining sebuah partai politik, baik untuk mendapatkan kekuasaan maupun sumber-sumber lainnya.

Meskipun demikian, bagi PA sendiri, kita masih memiliki posisi tawar politik yang signifikan, masih tetap menjadi bagian dari pimpinan legislatif dan juga memiliki kader dengan kemampuan yang cukup dalam mempengaruhi dinamika politik parlemen 2019-2024. Namun, sebagai partai politik yang berbasiskan nilai-nilai perjuangan, Partai Aceh banyak  mengambil hikmah dan pembelajaran politik untuk terus melangkah, memperbaiki dan menguatkan kembali barisannya. Sebelumnya, PA Aceh Besar memandang Partai Gerindra adalah koalisi strategis, makanya selama masa kampanye pileg 2019, banyak tempat PA-Gerindra melakukan kampanye bersama, tentunya Gerindra mengambil manfaat politik atas keadaan demikian. Namun, faktanya ketika berhadapan dengan kepentingan sumber daya, faktanya  relasi selama ini hanyalah relasi taktis dalam pandangan mereka.

Akan tetapi, Perwakilan PA sebagaimana yang diharapkan oleh konstituennya tetap berupaya untuk terus mempengaruhi supaya institusi legislative ini dapat berjalan dengan efektif sesuai dengan peran dan fungsinya. Fraksi-fraksi dapat menjadi alat untuk memperjuangan aspirasi masyarakat dan berperan aktif dalam proses pembuatan kebijakan. Fraksi-fraksi dapat menumbuhkan diskursus atas berbagai isu dan masalah yang terjadi dalam masyarakat dan politik pemikiran tersebut dapat diturunkan dalam berbagai gagasan dan rancangan strategis pembangunan agar program pembangunan dapat memastikan perubahan kemajuan dan kesejahteraan masyarakat Aceh Besar.

Arah Politik Partai Aceh

Ketua DPW-PA Aceh Besar Saifuddin Yahya dalam amanatnya menyampaikan bahwa,” lima orang yang menjadi anggota DPRK Aceh Besar masa jabatan 2019-2024 merupakan representasi partai, mereka tunduk atas amanat partai dan melakukan perjuangan secara bersama-sama untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan masyarakat di daerah pemilihannya.

Untuk itu, fokus dan arah kebijakan yang harus diperjuangkan adalah segala kebijakan yang berhubungan dengan upaya peningkatan layanan publik, pengentasan kemiskinan, dan menjalankan program-program kesejahteraan masyarakat. Kenapa ? Karena publik memiliki hak atas layanan dari pemerintah sepenuhnya. Selanjutnya angka kemiskinan dan pengangguran di Aceh Besar masih tergolong tinggi, yaitu 14,47 %. Maka, Fraksi PA dibebankan untuk mencari rumusan konsep yang lebih tepat guna menurunkan angka kemiskinan di Aceh Besar, baik berdasarkan pengalaman di wilayah lainnya maupun melalui pendekatan pembangunan social-budaya dan ekonomi dengan memanfaatkan potensi Sumber daya alam dan sumber daya manusia Aceh Besar itu sendiri.

Selanjutnya, Partai Aceh memastikan juga agenda politik parlemennya pada penguatan kelembagaan legislatif, agar kelembagaan tersebut memiliki kewibawaan dalam relasinya dengan eksekutif maupun yudikatif. PA juga berupaya untuk mendorong pelembagaan dan internalisasi visi legislatif yang kritis, dinamis dan memiliki komitmen politik yang mementingkan kepentingan masyarakat.

Namun demikian, sebagai institusi yang berbasiskan politik, pergerakan isu “rumor” sangat dinamis dan kecenderungan diskursus politik tetap saja mengarah pada tarik-menarik kepentingan. Misalnya, upaya menguasai alat kelengkapan dewan (AKD), meskipun tidak mencuat ke permukaan namun desas-desus calon-calon pimpinan AKD sudah mulai mencuat. Meskipun pergerakan politiknya berjalan tertutup, namun kita melihat partai-partai nasional berupaya berkoalisi dalam satu barisan guna menguasai AKD.  Menariknya, pergerakan politik tersebut sulit terbuka sebab parta-partai politik lokal tidak berupaya untuk membangun koalisi antar mereka, meskipun kecenderungan politik bergerak kearah terciptanya koalisi parnas vs koalisi parlok.

Namun demikian, PA dan juga parlok lainnya tidak terlalu peduli dengan dinamika politik tersebut karena kita menyadari bahwa terlalu banyak energi internal terbuang jika atmosfir politik kita arahkan pada munculnya friksi politik dalam satu tubuh kelembagaan dewan. Kita memiliki sikap yang jelas untuk tidak masuk dalam “gesekan” yang dapat mendisorientasikan lembaga ini sejak awal menjabat, karena kondisi demikian justeru merugikan masyarakat Aceh Besar secara keseluruhan.

Pertimbangan politik kita, siapapun yang memimpin alat kelengakapan dewan (AKD) adalah personal yang memiliki kapasitas dan keahlian yang cukup, kompeten dan berkompetensi, dan mampu membangun teamwork yang solid.  Kita mengharapkan kelembagaan DPRK Aceh Besar memiliki kewibawaan yang tinggi dan mampu menjalin relasi-komunikasi yang aktif, konstruktif dan produktif dengan eksekutif supaya program pembangunan kesejahteraan masyarakat dapat kita bangun bersama.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here