Aku lagi menikmati es krim lima tele, di bangku bulat bawah pohon palem yang rindang, suara air mancur yang kencang mewarnai suasana duka siang itu. Mobil hijau menurunkan jenazah dalam peti warna krem yang bagian kepalanya di tutup dengan kain berbunga. Beberapa petugas baju hijau menyeret terpal naungan putih bertuliskan Eyüp Sultan Belediyesi dari dekat tembok samping pintu masjid Eyüb.
Peti jenazah di letakkan di tempat yang telah dinaungi, seorang perempuan menghapus air matanya sambil mengusap peti, jamaah yang akan melaksanakan salat jenazah mulai berkumpul, ada sekitar 25 orang mendengar imam memberikan kata takziyah, imam yang memakai gamis khas berwarna putih dengan topi burdah putih juga, menggunakan pengeras suara bertanya pada pelayat apakah sudah memaafkan dosa mayit ini, semua menjawab sudah.
Es krim sudah habis aku cicipi, segera bergabung dengan para pelayat untuk ikut salat jenazah. Selesai imam memberikan kata takziyah, salat mulai dilaksanakan. Sama prosesi salat dengan dengan di Aceh, ber hanya berbeda sedikit. Jamaah berdiri jarak satu meter, ikut aturan protokoler pandemi.
Takbiratul ihram di mulai, semua jamaah ikut. Ketika takbir kedua dibacakan imam, jemaah tidak ada yang mengangkat tangannya, masih bersedekap, begitu juga dengan takbir yang ketiga dan keempat. Posisi tangan tetap di perut, hingga berakhir dengan salam baru tangan diturunkan. Perbedaan salat jenazah di tempat kita bedanya hanya di tangan yang diangkat ketika takbir.
Selanjutnya Imam mengucapkan Al-fatihah dan memimpin doa. Peti jenazah segera diangkat kembali ke mobil hijau, dibawa ke tempat pemakaman. Suasana seperti semula lagi. Aku kembali merasakan suasana masjid Eyüb, menunggu salat zuhur di area wisata yang pengunjungnya tidak pernah berhenti ini.
Walaupun dalam kondisi pandemi. Masjid Eyüb adalah tempat favorit wisatawan dalam dan luar, mereka berziarah ke makam salah seorang sahabat Rasulullah yaitu Abu Aiyub Al-Anshari, yang wafatnya di tengah pertempuran untuk penaklukkan Konstantinopel, pasukan yang di pimpin oleh Muawiyah itu membawa beliau yang sudah tua dan sepuh, beliau tetap ikut ekspedisi walaupun sudah dilarang oleh putranya. Menjelang wafat abu Aiyub meminta jenazahnya di kuburkan benteng terdekat dengan konstatinopel, biar bisa mendengar takbir ketika penaklukan.
Prosesi pelaksanaan salat jenazah di Istanbul ini hampir sama di beberapa tempat, aku menyaksikan dan ikut salat ketika di laksanakan di masjid Fatih saat itu, begitu juga di masjid yang tidak jauh dari apartemen tinggalku di Murat Çeşme. Penyelenggaraan salat jenazah mereka lakukan di depan atau dihalaman masjid bukan di dalam.
Tidak lama kemudian terdengar suara azan menggema dari menara masjid, aku bergegas berwudu dan memasuki pintu masjid, aku harus mempersiapkan hati dan diri suatu saat aku akan kembali ke tempat sebenarnya, aku akan diperlakukan penyelenggaraan prosesi untuk kembali padanya juga.
Memasuki ruang utama masjid ternyata sudah dipenuhi oleh jamaah dengan jarak satu meter, aku naik ke atas ke tingkat dua ternyata hampir penuh Alhamdulillah aku kebagian tempat.
Eyüp Mosque Istanbul, 8 Agustus 2020
Bionarasi Penulis
Muslem, S.Pt dengan nama pena Moes Subulussalam. Kelahiran Bireuen, tahun 1972, seorang da’i dan guru. Pendiri dan pengelola Sekolah Islam Terpadu Abqari Kota Subulussalam Aceh. baru menghasilkan 51 buku antologi bersama. Baru menghasilkan satu buku solo, novel Keajaiban Rindu Baitullah. Saat ini mengajar siswa SMA di sekolah internasional Ihram Cizade College Istanbul Turki. Ig moes_subulussalam.