Buruh Aceh Tolak RUU OMNIBUS LAW

Aksi Tertutup Aliansi Buruh Aceh, Sampaikan aspirasi tolak OMNIBUS LAW atau UU Cipta Karya. (Sumber Foto : Arnif)

ACEHAKTUAL.COM | Banda Aceh,- DPR-RI telah mengesahkan RUU OMNIBUS LAW. Hal tersebut menimbulkan penolakan dari kalangan buruh. Termasuk para buruh Aceh yang bersatu dalam Aliansi Buruh Aceh (ABA). oleh karena itu mereka melakukan aksi protes berkaitan dengan hal tersebut.

Disebutkan oleh Arnif dalam pers rilis ABA(06/10/2020), meskipun banyak suara penolakan dari kalangan pekerja/buruh, Ormas, LSM bahkan Akademisi namun DPR-RI tak bergeming bahkan terkesan dipaksakan langsung mengesahkan RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) menjadi Undang-Undang dalam Rapat Paripurna tanggal 5 Oktober 2020. Semua fraksi DPR-RI mendukung pengesahan Omnibus Law, akan tetapi Aliansi Buruh Aceh memberi apresiasi kepada 2 (dua) fraksi yang masih mendengar suara rakyat dan komitmen menolak pengesahan UU Cipta Kerja yaitu PKS dan Partai Demokrat.

Menurut mereka menjadi sebuah pertanyaan besarketika RUU tersebut disahkan ditengah pandemi Covid-19. Mereka heran dengan sikap DPR-RI yang mengabaikan aspirasi rakyat. Buruh tegas menolak pengesahan RUU Omnibus law, lalu dimanakah prinsip Dewan sebagai penyambung lidah dan mewakili suara rakyat. “Saat ini penolakan yang masif tak lagi didengar namun hanya menyahuti segelintir kelompok pemodal dan elit penguasa”, Senbut Arnif Ketua Bidang Advokasi ABA.

Terdapat banyak perbedaan yang lebih buruk antara UU Cipta Kerja/Omnibus law dengan UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, diantaranya : Penetapan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK/UMSK) dihapus, Jaminan sosial dihapus dan penghapusan tunjangan yang lain, Outsourcing seumur hidup untuk semua jenis pekerjaan, Tidak ada pengangkatan karyawan tetap, Penghapusan hak cuti (cuti hamil, melahirkan, pernikahan dan lain-lain) dan tidak ada penggantian kompensasi cuti, Pemutusan hubungan kerja secara sewenang-wenang oleh perusahaaan, Nilai pesangon dikurangi dari 32 kali menjadi 25 kali upah, Menjamin kemudahan investasi termasuk dalam kepemilikan atau penguasaan tanah yang akan menggusur rakyat.

Atas dasar persoalan regulasi nasional tersebut, maka ABA mengharapkan Pemerintah Aceh tetap memastikan dalam penyelenggaraan dan perlindungan pekerja/buruh di Aceh tetap mengacu kepada Pasal 174 – 177 UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh serta Qanun Aceh No.7 Tahun 2014 tentang Ketenagakerjaan, karena UU Pemerintah Aceh dan Qanun Ketenagakerjaan tersebut lebih spesifik dan khusus berlaku di Aceh serta menurut kami lebih baik dari UU Omnibus Law. Atas pengesahan UU Cipta Kerja (Omnibus Law) oleh DPR-RI yang tidak peka terhadap suara rakyat Indonesia.

ABA dengan tegas menolak pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law), selanjutnya mendesak DPR-RI dan Presiden RI Mencabut dan membatalkan Undang – Undang Cipta Kerja yang telah disahkan.

Selanjutnya juga mendesak DPR Aceh, Wali Nanggroe dan Gubernur Aceh mengirim surat penolakan atas pengesahan UU Cipta Kerja karena tidak mengikuti proses yang partisipatif dan mengabaikan Hak Asasi Manusia dan UU Cipta Kerja lebih buruk dari UU Ketenagakerjaan. Kemudian mendorong Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Aceh dalam Penyelenggaraan dan Perlindungan Ketenagakerjaan dengan mengacu kepada Undang-Undang Khusus Aceh Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2014 tentang Ketenagakerjaan.

ABA juga mendorong Pemerintah Aceh untuk meningkatkan Pengawasan dan penegakan norma Ketenagakerjaan pada perusahaan di Aceh serta Pengawasan ekstra terhadap TKA yang masuk dan bekerja di Aceh.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here