Bahas Konflik Agaria, DPRA Mulai Bahas Qanun Tentang Pertanahan

DPRA gelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) terhadap Raqan Aceh Tentang Pertanahan. Foto : Fauzan

ACEHAKTUAL.COM I Banda Aceh – Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) mulai bahan Rancangan Qanun Aceh tentang pertanahan salah satunya untuk menyelesaikan konflik agaria.

Wakil Ketua DPRA H. Dalimi, SE.Ak saat membuka Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) terhadap Raqan Aceh Tentang Pertanahan, mengatakan qanun yang mengatur bidang pertanahan sebenarnya telah ada sejak berlakunya undang-undang nomor 11 tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh. Kamis (19/11/2020).

Kemudian, gagasan tersebut kemudian tenggelam dan menggema kembali setelah  berlakunya undang-undang nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah. dalam undang-undang tersebut secara ekplisit menyebutkan bahwa pelayanan pertanahan merupakan kewenangan  pemerintah daerah provinsi dan kab/kota.

Perlu di pahami, kata  petinggi Demokrat Aceh ini, dalam konteks keacehan adalah penyelesaian konflik agraria bukan hanya menyelesaikan perkara menurut ketentuan-ketentuan hukum positif.

“Akan tetapi lebih dari itu yaitu suatu upaya perombakan struktur penguasaan tanah dan sumber daya alam lainnya yang timpang sebagai upaya dalam menyelesaikan upaya konflik dan sengketa agraria maupun konflik pengelolaan yang berpegang pada prinsip keadilan serta mengedepankan kepentingan masyarakat,”ujar Dalimi.

Hal tersebut secara tegas diatur di dalam undang-undang nomor 11 tahun 2006 tentang pemerintahan aceh, yang merupakan amanat memorandum of understanding (MOU), pada bab XXIX, pasal 213 ayat (2) yang menjelaskan bahwa pemerintah Aceh dan/atau pemerintah kabupaten/kota berwenang mengatur dan mengurus peruntukan.

Kemudian pemanfaatan dan hubungan hukum berkenaan dengan hak atas tanah dengan mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak yang telah ada termasuk hak-hak adat sesuai dengan norma, standar, dan prosedur yang berlaku secara nasional.

Belum rampungnya Qanun ini yang selalu diusulkan dalam prolega prioritas dalam 3 (tiga) tahun ini, karena dpr aceh harus ekstra hati-hati dalam membahas pokok-pokok pikiran dan batang tubuhnya. qanun tentang pertanahan ini merupakan perintah dari undang-undang nomor 11 tahun 2006 tentang pemerintahan aceh dan turunan dari butir-butir mou helsinki.

“Oleh karena itu dpr aceh harus sangat hati-hati dalam merumuskan kebijakan batang tubuh pasal per pasal,” jelasnya.

Pelimpahan kewenangan diatur dalam pasal 253 ayat (1) undang-undang nomor 11 tahun 2006 tentang pemerintahan aceh yang menetapkan bahwa “kantor wilayah badan pertanahan nasional Aceh dan kantor pertanahan kabupaten/kota menjadi perangkat daerah Aceh dan perangkat daerah kabupaten/kota  paling lambat awal tahun anggaran 2008”.

“Kami tegaskan bahwa setiap masukan dan saran yang disampaikan bertujuan sebagai penguatan dan penyempurnaan substansi rancangan qanun pertanahan ini, “ jelasnya.

Hal ini kata Daslimi, sebagaimana yang diamanahkan dalam ketentuan pasal 96 ayat (2) undang-undang nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan dan juga pasal 22 qanun aceh nomor 5 tahun 2011 tentang tata cara pembentukan qanun, yang antara lain menyatakan bahwa “masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dapat dilakukan melalui rapat dengar pendapat umum (rdpu), sosialisasi, seminar, lokakarya dan/atau diskusi”.

“kami menaruh harapan besar kepada bapak dan ibu yang telah memenuhi undangan kami pada rapat dengar pendapat umum (rdpu) ini, untuk dapat berpartisipasi penuh memberi masukan secara komprehensif demi kesempurnaan substansi rancangan qanun ini,” harapnya.(parlementaria)

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here