Qanun LKS Sebagai Engine Of Growth Perekonomian Aceh dan Model Ekonomi Syariah Dunia

Prof. DR. Shabri Abd Majid

Prof. DR. Shabri Abd Majid. Foto : unsyiah.ac.id

Qanun No. 11 tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS) yang berisi  67 Pasal dan 35 halaman pada intinya mengatur bahwa semua  lembaga keuangan harus beroperasi sesuai syariah. Kehadiran Qanun LKS ini akan membantu mendongkrak perekenomian semua golongan, bukan saja pengusaha mikro, kecil dan menengah, tetapi juga pengusaha skala besar. Qanun LKS benar-benar rahmat dan hadiah istimewa bagi masyarkat Aceh. Dari keseluruhan pasal Qanun LKS, ada beberapa poin penting yang memiliki daya ungkit pertumbuhan ekonomi di Aceh.

Pertama, mendongkrak bisnis Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). LKS harus mengalokasikan pembiayaan untuk UMKM minimal sebesar 30% pada tahun 2020 dan 40% pada tahun 2024 (Pasal 14, Ayat 4) dari total pembiayaan LKS. Lebih dari 70.000 unit UMKM yang berada di Aceh yang sekarang hanya mendapat kucuran pembiyaan sekitar 7% dari perbankan telah menyebabkan UMKM mengalami hambatan untuk memodali usaha mereka. Padahal UMKM ini menyerap hampir 90% tenaga kerja dan menyumbang lebih dari 60% terhadap pertumbuhan ekonomi Aceh.

Dengan hadirnya Qanun LKS ini, maka UMKM di Aceh diyakini akan mendapatkan modal usaha yang mencukupi sehingga akan berkembang pesat dan mampu menyerap banyak pengangguran, mempercepat penurunan tingkat kemiskinan dan kesenjangan pendapatan, serta mempercepat pertumbuhan ekonomi Aceh.

Kedua, mewujudkan keseimbangan pembangungan ekonomi melalui prioritas pertumbuhan sektor ekonomi ril. LKS harus secara bertahap menyediakan pembiayaan berbasis bagi hasil minimal sebesar 10% pada tahun 2020, 20% pada tahun 2022, dan 40% pada tahun 2024 (Pasal 14, Ayat 7) dari total pembiayaan yang diberikan.

Selama ini, jumlah pembiyaan yang diberikan lembaga perbankan syariah didominasi pembiayaan jual beli, seperti murabahah, dan kurang dari 10% pembiyaan berbasis bagi hasil, seperti musyarakah dan mudharabah. Padahal, produk atau akad berbasis bagi hasil inilah yang seharusnya menjadi andalan produk LKS karena kemampuannya untuk mendongkrak sektor ekonomi ril.

Dengan terdongkraknya sektor ril ini, maka jumlah barang dan jasa yang tersedia di Aceh akan dapat menyeimbangi pergerakan sektor keuangan sehingga inflasi akan dapat ditekan. Pembiayaan berbasis bagi hasil ini sangat menjunjung tinggi nilai keadilan, karena keuntungan dibagi bersama antara LKS dan nasabah sesuai dengan kesepakatan bersama, sedangkan kerugian modal ditanggung oleh LKS dan nasabah hanya menanggung kerugian tenaga dan waktu. Baik pengusaha mikro, kecil, menengah, dan besar akan sangat diuntungkan dengan pembiayaan berbasis bagi hasil ini. Mereka tidak perlu membayar pembiyaan yang diberikan LKS jika bisnis mereka mengalami kerugian.

Ketiga, mempercepat tersedianya infrastruktur pembangungan ekonomi di Aceh. Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Aceh dapat mengeluarkan obligasi syariah (Sukuk) untuk mendanai pembangunan ekonomi (Pasal 23, Ayat 7). Dengan mengeluarkan Sukuk yang diperjualbelikan kepada masyarakat, maka pemerintah akan memiliki dana yang cukup untuk membangun ekonomi Aceh. Masyarakat Aceh dapat berpartisipasi aktif dalam mendanai pembangunan ekonomi Aceh dengan membeli Sukuk dan sekaligus mendapat keuntungan.

Keempat, meningkatkan pengumpulan dana zakat di Aceh. Bank Syariah mendukung penghimpunan zakat, infak, sedekah dan wakaf LKS dalam bentuk tunai atas nama Baitul Mal Kota/Kabupaten dan Baitul Mal Aceh (Pasal 13, Ayat2). Nasabah yang menyimpan uang di bank syariah dan memiliki kesadaran untuk membayar zakat, maka dengan mudah dapat mengintruksikan bank syariah untuk memotong simpanannya untuk membayar zakat setiap tahun. Jelas ini akan meningkatkan jumlah penghimpunan zakat di Aceh yang selama ini hanya baru mencapai sekitar 8% dari potensinya.

Walaupun demikian, ada catatan penting agar semua LKS dapat menjalankan operasional mereka sepenuhnya sesuai dengan syariah. Kegiatan transaksi keuangan informal yang berlaku dalam masyarakat Aceh secara turun-temurun dan telah mentradisi, seperti gala, mawah, dll harus dievaluasi dan dipastikan pelaksanaannya sesuai dengan syariah. Karena masih banyak praktek keuangan informal ini dalam masyarakat kita yang belum sepenuhnya sesuai dengan syariah.

Ketika semua transaksi keuangan, baik perbankan maupun non-perbankan, formal maupun informal telah sepenuhnya dilaksanakan sesuai dengan syariah, maka Aceh sudah dapat dianggap sebagai pusat transaksi syariah di dunia. Peran dewan syariah Aceh juga sangat penting dalam memastikan semua transaksi ini benar-benar dilakukan sesuai syariah.

Di samping itu, Pusat Kajian tentang Ekonomi, Keuangan, dan Perbankan Syariah perlu juga hadir di Aceh dalam rangka mengkaji, melahirkan, dan mendisseminasi model pelaksanaan tranksaksi yang murni syariah. Aceh juga harus memiliki Sumber Daya Islami yang mencukupi baik secara kuantitas maupun kuantitas. Sarana dan prasarana ekonomi, perbankan, dan keuangan syariah berbasis teknologi harus lengkap. Kolaborasi dengan lembaga ekonomi, perbankan, dan keuangan syariah pada level nasional, regional, dan internasional harus diperkuat. Lembaga penyelesaian sengketa ekonomi, perbankan, dan keuangan syariah harus memiliki kapabilitas untuk memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi yang bersengketa.

Terakhir, dukungan padu masyarakat juga sangat diperlukan. Masyarakat mesti memiliki tingkat literasi ekonomi, perbankan, dan keuangan syariah yang benar. Ketika kita mengharapkan LKS benar-benar beroperasi murni sesuai syariah, maka LKS, pemerintah, masyarakat, dan semua pemangku kepentingan LKS juga harus berprilaku murni syariah.

InsyaAllah, Aceh segera muncul sebagai model, pusat, dan kiblat ekonomi syariah global.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here