Kehadiran Qanun LKS merupakan niat suci masyarakat Aceh untuk memerdekakan dirinya dari belenggu riba (bunga). Karena riba berdampak sangat buruk dalam perekonomian, maka niat suci Qanun LKS harus segera diimplementasi. Riba bahkan dianggap salah satu pilar keuangan syetan.
Sistem perekonomian ribawi yang dianut dunia telah menyebabkan sekurang-kurangnya 100 kali krisis ekonomi berskala besar silih berganti menerpa dunia, termasuk Indonesia. Sungguh mahadahsyat dampak negatif riba terhadap ekonomi. Oleh karena itu, marilah kita membebaskan Aceh dari sisa-sisa riba. Firman Allah SWT: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggallah sisa-sisa riba… Maka jika kamu tidak meninggalkan sisa riba, maka Allah dan RasulNya akan memerangi kamu…” (QS. al-Baqarah: 278-279). Ayat ini menunjukkan kepada kita bahwa pelaksanaan Qanun LKS dengan hanya ada satu sistem tunggal ekonomi Islam, bukannya “dual economic system” di bumi Aceh, merupakan langkah paling ideal.
Islam melihat mereka yang terlibat dalam aktivitas riba sebagai “ureung pungoe”, “penjahat agama” dan “’penjahat ekonomi” yang wajib diperangi. Di akhirat kelak, pemakan riba adalah “penghuni neraka yang abadi”. Allah SWT berfirman: “Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila ..dan mereka yang mengulangi memakan riba itu adalah penghuni-penghuni neraka yang kekal di dalamnya.” (QS. al-Baqarah: 275). Dan “…Allah dan RasulNya akan memerangi mereka yang tidak meninggalkan sisa riba.” (QS. al-Baqarah: 278).
Dosa si pemakan riba itu sama dan bahkan lebih besar dibandingkan dengan dosa seorang lelaki yang memerkosai ibunya. Rasulullah SAW bersabda: “Riba memiliki tujuh puluh tingkat, dan yang paling rendah adalah seperti seorang lelaki yang berzina dengan ibunya.” (HR. Ibnu Majah); “…dosa seseorang yang memakan riba lebih besar dibandingkan dengan dosa seorang lelaki yang berzina dengan ibunya sendiri.” (H.R. Bukhari). Hadis senada berbunyi: “Satu Dirham riba yang diterima seseorang dan dia mengetahuinya adalah lebih jelek dibandingkan dengan melakukan zina sebanyak 36 kali.” (HR. Ahmad and Daruqutni). Hadis lain menyebutkan bahwa: “Allah SWT tidak membenarkan empat golongan untuk mencium bau syurga apatah lagi memasukinya. Mereka adalah peminum minuman keras secara terus menerus, pemakan riba, pemakan harta anak yatim, dan pendurhaka kepada kedua orang tuanya.” (Mustadrak al-Hakim, Kitab al-Buyu).
Karena dahsyatnya dampak riba terhadap perokonomian umat, maka Rasulullah sendiri dalam khutbahnya yang terakhir sebelum beliau wafat, kembali mengingatkan umatnya agar menjauhi riba. Tidak hanya si pemakan riba yang diganjarkan dosa besar, pemberi dan pencatat transaksi riba juga berdosa besar. Rasulullah SAW bersabda: “Allah SWT melaknat orang yang membayar dan menerima riba, dan saksi yang mencatatnya. Mereka semuanya adalah sama (berdosa).” (HR. Tirmidhi dan Ahmad). Ini persis seperti kata bijak ureung tuha yang menyebutkan: “Si péh bajoe, si mat taloe, si duk kedroe, saban desya” (Pemukul pasak, Pemegang tali, dan Penonton sama dosanya). Hadist ini memberi sinyal bahwa kita yang menonton praktik riba di Aceh juga ikut berdosa jika tidak melarangnya! Jika kita tidak mau dianggap ikut berdosa, maka kita harus berpartisipasi aktif untuk melarangnya.
Ramai yang mahfum bahwa makan riba itu berdosa besar dan bahkan dosanya itu disamakan dan bahkan lebih besar dari dosa seseorang yang menzinahi ibunya (dosa anak perempuan yang menzinahi bapaknya?). Namun mengapa dosa pemakan riba disamakan dan bahkan lebih besar dari dosa seseorang yang menzinahi orang tuanya? Mengapa dosa memakan riba tidak disamakan dengan bentuk jenis dosa besar lainnya, seperti merampok, berjudi, dan membunuh? Kalaulah memakan riba itu dianggap memakan harta orang lain dengan sepengetahuan pemiliknya atau secara batil, mengapa dosa memakan riba tidak disamakan dengan dosa mencuri atau merampok? Sebuah pertanyaan menarik, tapi tidak mudah untuk dijawab.
Pada tahun 2007, Azeemuddin Subhani yang memiliki pengalaman 30 tahun bekerja sebagai Penasehat Keuangan Menteri Perminyakan, Arab Saudi berhasil menamatkan PhD-nya di bidang Hukum Islam dan Keuangan di Universitas McGill, Kanada. Dalam disertasinya, Dr Subhani mengkaji pelarangan riba dalam perspektif linguistik (bahasa). Ia menawarkan definisi dan perspektif baru terhadap konsep riba. Kerena menariknya disertasi yang ditulis Subhani, Harvard Law School, Amerika Serikat telah mengundangnya untuk mempresentasikan dan bahkan membukukan hasil penelitian Subhani tersebut di Universitas tertua di dunia itu.
Di antara isu menarik yang diulas Dr Subhani dalam disertasinya adalah mencari jawaban Hadist Sahih yang mengasosiasikan dosa pemakan riba sama dan bahkan lebih dashyat dari dosa seseorang yang menzinahi ibunya.
Kata riba bermakna tumbuh, bertambah, dan berkembang. Orang yang memungut riba, berarti menumbuhkembangkan uangnya dari uang itu sendiri secara haram (peu meu-aneuk bajeung peng) atau “mengharam anak-jadah-kan uang”. Atau Aristoteles menyebutkannya sebagai “money begets money” atau “money creates money” (uang menciptakan uang). Begitu juga seorang yang menzinahi ibunya adalah sebuah tindakan untuk menciptakan dirinya sendiri (self-generation) dari “air mani” yang sama dan dilahirkan oleh “”ibu yang sama”.
Islam mengasosiasikan dosa riba dengan dosa perzinahan dengan orang tua sendiri kerena terletak pada kesamaan “proses” dan “hasil” akibat praktik riba dan perzinahan dengan orang tuanya sendiri, yang disebut dengan “self-generation” itu. Sulit untuk dibayangkan apabila dari perzinahan antara sang anak dengan ibunya itu lahirlah seorang “anak haram”. Kalau anak haram itu membesar, dia harus memanggil siapa kepada orang tuanya? Anak itu layak memanggil “abang” atau “ayah” atau mungkin gabungan antara keduanya, “bang-yah” atau “yah-bang” kepada orang tua lakinya. “Ibu” dan “nenek” atau “bu-nek” atau “nek-bu” kepada orang tua perempuannya. Sungguh akan kacau-balau dunia ini dan akan hancur tatanan kehidupan sosial masyarakat jika angkara murka ini.
Begitu juga ketika praktik riba dilakukan secara terus menerus, maka uang itu akan melahirkan “anak-anak uang” yang banyak sekali. Tindakan mengembangbiakkan uang secara ilegal atau “mengharam anak-jadahkan uang” (peu aneuk bajeung peng), tentunya akan menyebabkan ketidakadilan ekonomi. Karena yang meraup untung adalah mereka yang memiliki uang yang banyak (kaya), dan yang rugi adalah mereka tidak berkecukupan uang (miskin). Dengan hanya meminjamkan uangnya kepada orang lain atau mendepositokan uang di “bank konvensional”, maka dengan hanya duduk berpangku tangan, goyang-goyang kaki, akhir bulan atau tahun pemberi pijaman atau pendeposito akan mendapatkan uang yang banyak, jumlah uang yang dipinjamkan ditambah dengan riba (bunga), tanpa mengambil risiko sedikit pun.
Itulah sebabnya Islam memandang riba sebagai dosa terbesar. Dalam Islam, riba dianggap sebagai penyebab krisis ekonomi, pemicu ketidakadilan ekonomi, penyebab ketidakseimbangan antara sektor riil dan keuangan (inflasi), penghambat pertumbuhan ekonomi, dan punca timbulnya konflik sosial-ekonomi. Riba juga menghambat usaha produktif, penghalang inovasi, dan aktivitas wirausahawan (entrepreneurship), menyebabkan alokasi sumber daya yang tidak efisien, memicu ketimpangangan ekonomi dan berbagai penyakit ekonomi lainnya.
Pelaksanaan Qanun LKS adalah strategi jitu untuk memerdekakan Aceh sepenuhnya dari riba. Misi suci ini tidak boleh ditunda lagi. Untuk itu, perlu dukungan padu semua pihak, di samping ke-istiqamah-an pemerintahan Aceh. Semoga dalam hitungan hari, Aceh benar-benar merdeka dari belenggu riba dan masyarakat Aceh dapat menikmati rahmat ekonomi yang lebih berkeadilan.
Penulis : Prof. Dr. M. Shabri Abd. Majid, SE., M.Ec (Guru Besar Ekonomi Islam, Universitas Syiah Kuala)