Saya lanjutkan kisah kedua. Selama di Bali kita akan dibuat kagum dengan model bangunan disana yang selalu mempertahankan bentuk yang khas meskipun bangunan itu bukanlah tempat ibadah.
Hotel boleh bintang lima, bandara silahkan internasional, rumah makan berkelas dunia, bar penuh huru-hara namun tetap kita akan menemukan atmosfir yang kental dengan budaya dan agama Hindunya yang identik dengan patung dan ornamen Bali. Ditambah dengan para pelayan yang selalu memakai atribut khas daerahnya.
Disamping itu kita akan menemukan bangunan-bangunan yang khusus dibuat untuk beribadah dan memberikan sesajen. Terkadang sesajen tidak hanya berisikan makanan, buah-buahan, dan ternak saja tapi juga uang dan apapun yang memiliki nilai dan mereka pakai dalam kehidupan sehari-hari.
Selain itu, kondisi Bali yang bisa membuat turis merasa aman dan damai ketika kesana adalah kebersihan tempat wisatanya. Kita bisa menjumpai lokasi yang hijau dan rimbun perpohonannya. Meskipun ada juga lokasi wisata tepi pantai yang masih berserakan sampah akibat wisatawan yang membuang sampah sembarangan.
Atas beberapa hal ini, timbullah keinginan saya untuk menelusuri mengapa masyarakat Bali bisa membangun daerahnya dengan begini rupa.
Ternyata, hasil penelusuran saya setelah mendengarkan pemaparan dari pak Mangku sang guide perjalanan saya dan rombongan PT DEP kali ini menyebutkan bahwa masyarakat Bali memegang teguh Tri Hita Karana berasal dari kata “Tri” yang berarti tiga, “Hita” yang berarti kebahagiaan dan “Karana” yang berarti penyebab. Dengan demikian Tri Hita Karana berarti “Tiga penyebab terciptanya kebahagiaan”.
Tri Hita Karana merupakan falsafah hidup yang mengharmonisisasikan antara Tuhan, Alam Sekitar, dan Sesama Manusia. Konsep kosmologi Tri Hita Karana merupakan falsafah hidup tangguh. Falsafah tersebut memiliki konsep yang dapat melestarikan keaneka ragaman budaya dan lingkungan di tengah hantaman globalisasi dan homogenisasi.
Pada dasarnya hakikat ajaran Tri Hita Karana menekankan tiga hubungan manusia dalam kehidupan di dunia ini. Ketiga hubungan itu meliputi hubungan dengan sesama manusia, hubungan dengan alam sekitar, dan hubungan dengan ke Tuhan yang saling terkait satu sama lain. Setiap hubungan memiliki pedoman hidup menghargai sesama aspek sekelilingnya.
Prinsip pelaksanaannya harus seimbang, selaras antara satu dan lainnya. Apabila keseimbangan tercapai, manusia akan hidup dengan menghindari daripada segala tindakan buruk. Hidupnya akan seimbang, tenteram, dan damai.
Dengan menerapkan falsafah tersebut diharapkan dapat menggantikan pandangan hidup modern yang lebih mengedepankan individualisme dan materialisme. Membudayakan Tri Hita Karana akan dapat memupus pandangan yang mendorong konsumerisme, pertikaian dan gejolak.
Membandingkan falsafah Tri Hita Karana yang dipegang teguh oleh masyarakat Bali yang menganut agama Hindu dengan falsafah hidup orang Aceh yang beragama Islam sebenarnya juga memiliki titik temu yang sama.
Orang Aceh sebagai penganut Islam yang taat juga memiliki konsep hidup yang menyeimbangkan antara Tuhan, alam sekitar dan sesama manusia. Makanya tidak heran ketika di Aceh kita akan dengan mudah menemukan mesjid dan meunasah/mushala sebagai tempat beribadah kepada Allah. Arsitektur bangunan yang penuh ukiran makhluk hidup khususnya tumbuhan, dan hubungan sesama yang dipupuk dengan banyaknya khanduri yang bisa merekat silaturahim dan kebersamaan.
Meskipun akhir-akhir ini harus kita sadari bahwa keseimbangan itu mulai pudar sedikit demi sedikit akibat tergerus modernitas dan paham-paham luar yang mengikis keseimbangan itu.
Banyaknya generasi muda Aceh saat ini yang lupa akan identitas diri dan malu untuk menjaga budaya keacehan yang kental dengan Islam dan heroiknya.
Sebab itu, saya melihat kedepan dalam setiap ruh kehidupan dan pembangunan di Aceh baik dalam hal membangun Imtaq (Iman dan Taqwa) dan Iptek (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) harus kembali menyelaraskan antara hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan alam, dan manusia dengan manusia. Agar Aceh kedepan akan kembali hebat dan jaya sebagaimana masa kegemilangan masa dulu.
Jika tidak, Aceh akan semakin tertinggal minimal tertinggal dari Bali.